Hari ini saya akan banyak bercerita tentang masa lalu saya, masa dimana semua yang tampak sangat berat dijalani bahkan sekarang terasa sangat indah kalau diingat. Selalu seperti itu, ternyata jika sejenak melihat kembali jejak langkah yang ada, tidak terasa waktu dan perubahan telah terasa sangat nyata. Semakin nyata menyatakan bahwa sekarang saya sudah cukup berumur dan idealnya semakin dewasa dan mumpuni. Entahlah, saya tidak bisa menilai diri sendiri.
Hari ini tanggal 1 November, tepat hari ini pula almamater saya kembali mengulang tahun, SMA N 3 Semarang berulang tahun. Disini saya tidak akan bercerita tentang prestasi atau pencapaian dari almamater saya ini, toh di Wikipedia dan media sosial lainnya sudah banyak haha. Saya hanya ingin mengulang dan memutar sedikit memori saya yang tertaut pada masa sekolah tingkat atas ini.
Saya yang hanya ingin bermimpi selalu bersekolah di tempat yang lebih jauh, dengan ijin Tuhan saya sampai di tanah ganesha itu. Bukan hal yang mudah bertengger dengan sesama satria ganesha lainnya setiap hari di sekolah itu. Apalah saya ini hanya seorang murid tanpa bakat akademik yang signifikan. Dua tahun saya terdampar di kelas unggulan juga tidak membuat saya semakin bersinar. Haha tapi tentu saya bangga karena teman-teman saya lainnya sungguh kinclong tiada terkira prestasinya bahkan sampai sekarang. 10% anak di kelas saya itu juara olimpiade nasional, lainnya udah punya prestasi masing-masing di tingkat kota atau propinsi. Udah bukan levelnya lagi saingan tingkat kelas. Bahkan udah ada yang baca buku Bahasa inggris, sampai saya bingung itu mereka sejak kapan baca kayak gituan. Liat bukunya aja saya baru sekali, bacanya apalagi kagak ngerti dah. Da aku mah apa atuh dari dulu sampe sekarang gini-gini aja, modal asal selamet doang…
Akhirnya saya mencari dunia saya sendiri, dunia olimpiade gak cocok buat saya yang hobi cabut kelas, telat. Ujian aja remidi terus, gimana mau jadi juara olimpiade kan ya. Kadang saya merasa bersalah sama bapak wakil kepala sekolah yang udah masukin saya ke kelas ini, tapi saya udah merengek-rengek minta pindah kelas sampe nangis dan ada adegan sinetron sama mami di kantor tetep aja gak pindah. Baiklah, ini nasib. Mau gimana lagi. Salah bapaknya haha..
Mencari tempat eksis yang lain, saya akhirnya terjerumus ke dunia kepramukaan. Ya sih, dari SD sampe SMP juga eksis nya di pramuka sampe lomba ke Cibubur segala. Tapi entah ini namanya memang nasib, takdir, atau jodoh, saya toh ternyata survive juga menjalani masa-masa training bak tentara di pramuka ini. Kalau dipikir ya kenapa dulu saya mau-maunya aja disuruh guling-guling di lumpur, tanah, sawah, sungai dan entah tempat mana lagi yang belum saya jadiin tempat guling-guling, makan barang aneh bin menjijikan sampe bersumpah gak akan pernah mau lagi liat bubur, bawang, ikan teri, tahu mentah, apalagi nasi yang belum mateng, rela berhari-hari gak mandi, gak tidur, cuma buat di retorika lengkap dengan segala tantangan fisik lainnya. Fyuuuhh.. I’m so strong, don’t you think?
Segala yang saya jalanin di masa yang katanya masa paling bahagia itu penuh dengan ketidaknyamanan. Istilah saya itu semuanya doble kill. Mati di akademik, kecemplung juga di ekskul, gak bisa keluar dari semua lubang itu. Tapi sejelek-jeleknya jalan yang harus saya jalani, selalu ada hikmah yang bisa diambil dan nilai yang disyukuri. Diluar kegiatan sekolah, kehidupan yang lain justru lebih menguras tenaga dan pikiran. Tapi saya bersyukur, bahwa di sekolah itu justru saya ditempa, untuk bisa lebih siap menghadapi terpaan kehidupan yang lain.
Dua tahun sekelas dengan orang-orang terbaik sekota Semarang atau mungkin se-Jawa Tengah, saya belajar bahwa menjadi pintar itu bukan semata-mata instan atau bakat doang. Dibalik setiap cas-cis-cus mereka ada tidur yang harus dikurangi, dan waktu bermain yang dikorbankan. Yang sungguh saya syukuri adalah, betapa mereka orangnya jujur banget, banget, dan banget. Mereka yang nilainya aduhai sempurna itu sama sekali bukan hasil nyontek kanan kiri dan copas seenaknya. No pain, No gain. The best always make the best effort. Dan tentang berpikiran global, mereka yang ada di kelas ini bahkan saat ini sudah ada di track yang sudah mereka impikan sejak lama. Di jalur kesuksesan lengkap dengan idealisme mereka dimasa remaja. Such a persistent community. Disini saya punya rival, saya punya figure yang bisa diperbandingkan. Terbiasa dengan lingkungan seperti itu, ternyata sungguh sangat membantu banget buat saya menjalani hari-hari kuliah di ITB. Kuliah di ITB gak jauh beda sama kelas saya dulu, cuma volume nya jauuuh lebih besar. Kalau dulu Cuma 30 orang, sekarang jadi 3000 orang. Gila. Tapi toh sama aja, sama-sama imba semua hahaha. Anyway, sekolah di ITB kalo gak jujur dan persistent ya bakal kebawa kemana-mana bahkan bisa diculik. Saya sudah terlatih, and it works.
Beda lagi sama jaman kehidupan penuh terror tiap minggu di Pramuka. Entah udah berapa ribu kali saya makan push-up dan hal-hal lain yang menjadikan otot dan tulang saya kekar tahan banting. Kemah satu malam, sampai lima hari pun saya ikutin. Tidur di barak tentara, sampai cuma beralas tanah berselimut ponco saya jalanin. Semprotan panas dingin di depan muka saya juga udah kebal. Hufft.. such a hard road. Tapi pada akhirnya disitu jiwa saya keluar. Saya dari dulu yang cuma diem-diem mesem, bisa jadi orang yang paling garang sedunia. Dari yang yes-man bisa berubah jadi orang yang serba mempertanyakan segala. Not in a bad way. I learn a lot about how to recognize my self. But I never realize that until now. Retorika dan agitasi juga bukan melulu masalah kata-kata kasar dan emosi, lebih dari itu disini saya tidak pernah mencampur adukan edukasi dan emosi. Bahwa retorika itu mendidik bukan untuk mempermasalahkan, dan tegas bukan hanya masalah nada tinggi tapi esensi. Wohoo..keren banget sih bahasanya, di bandingin sama ospek yang di ITB hmm.. bisa dibilang masa SMA ini jauuuuuuh lebih kacau beratnya. Mana pernah di agitasi setiap minggu banget selama 2 tahun lebih? Saya inget betul paradox “Diem itu emas, tapi tidak selamanya emas itu berharga.” It doesn’t matter who you are, an introvert or an extrovert, deep inside everybody has thoughts, people just convey it in different way. Listen more to understand, speak out if it’s right, and never be ashamed of being wrong.
Kalo lagi nulis beginian sih bawaannya pasti jadi melankolis mendayu-dayu, tapi gimanapun juga, this school had given me a profound mark of its existence. SMA 3 Jayalah Selamanya~